Latar Belakang
Tak
dapat disangkal, salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar
negara adalah masalah perbatasan. Indonesia juga menghadapi masalah ini,
terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan
negara-negara tetangga.
Bila
dicermati, banyak negara-negara di Asia Pasific juga menghadapi masalah yang
sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke
depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya
bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka.
Republik
Indonesia adalah Negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah
di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the
Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17
Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya
berupa lautan.
Dari
17.506 pulau tersebut terdapat Pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung
Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau
Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas
wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92
pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari
92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius.
Pembahasan
Persengketaan bisa
terjadi karena:
1. Kesalahpahaman tentang
suatu hal.
2. Salah satu pihak
sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain.
3. Dua negara berselisih
pendirian tentang suatu hal.
4. Pelanggaran hukum /
perjanjian internasional.
1. Blok Ambalat
Di mata Pemerintah Indonesia,
Ambalat bukan wilayah sengketa, dan juga tak ada tumpang tindih wilayah. Jika
Malaysia masuk, itu artinya upaya perampasan wilayah kedaulatan. Akan tetapi
masyarakat perbatasan membutuhkan jawaban dan kepastian. Jangan biarkan mereka
hidup dalam kebimbangan. Lantaran itu TNI bersama dengan Pemerintah Kabupaten
Nunukan dan masyarakat sudah bertekad untuk menjaga Ambalat dan Karang Unarang
sebagai wilayah teritorial Indonesia. Mereka menancapkan bendera Merah Putih di
perairan tersebut, sekaligus juga membiarkan nelayan mendirikan bagang lebih
banyak lagi.
Sengketa
blok Ambalat antara Indonesia-Malaysia tercatat telah sering terjadi. Terhitung
sejak Januari hingga April 2009 saja, TNI AL mencatat kapal Malaysia telah
sembilan kali masuk ke wilayah Indonesia.
Betapa
istimewanya Ambalat, blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di
laut Sulawesi atau Selat Makassar itu, hingga menjadi titik konflik antara dua
negara bertetangga ini. Wilayah Ambalat merupakan wilayah yang memiliki potensi
ekonomi cukup besar karena memiliki kekayaan alam, berupa sumber daya minyak.
Oleh karena itu, wajar jika muncul berbagai kepentingan yang mendasari
munculnya masalah persengketaan ini. Bukan saja kepentingan ekonomi, melainkan
juga adanya faktor kepentingan politik di antara dua negara. Bagi Malaysia,
secara internasional akan merasa "menang" terhadap Indonesia, jika
berhasil mengklaim blok Ambalat.
Beda
lagi bagi Indonesia yang secara politik ingin mempertahankan blok Ambalat,
karena dianggap sama dengan mempertahankan kedaulatan bangsa.
Agar
tidak terjadi konflik berkepanjangan hendaknya pemerintah melalukan :
1.
Pemetaan kembali
titik-titik perbatasan Indonesia
2.
Bangun jalan di
sepanjang perbatasan darat.
3.
Pembangunan
pangkalan militer di dekat perbatasan.
4.
Galakkan kembali
transmigrasi.
Sengketa
blok Ambalat antara Indonesia-Malaysia tercatat telah sering terjadi. Terhitung
sejak Januari hingga April 2009 saja, TNI AL mencatat kapal Malaysia telah
sembilan kali masuk ke wilayah Indonesia. Blok Ambalat dengan luas 15.235
kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat
dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset
berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup
besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi,
rakyat di sana juga yang mendapatkan dampaknya.
2 Pulau Sipadan & Ligitan
Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan
perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur
pada 9-22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut.
Sebelum 1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan
Belanda yang menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua
negara. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di
sebelah Selatan garis itu merupakan wilayah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi
berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog,
dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam
dalam tanda kutip, artinya dialog tentang
perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara musyawarah.
Indonesia
pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga
Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan
peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya
Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena
diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia
bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of
Justice, the Hague di Belanda.
Keputusan Hakim Internasional
Pada
tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada
hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya,
dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara
hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan
hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu
lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia
di selat Makassar.
Pembahasan
Penyelesaian
sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia.
Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang
besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua
belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya
kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model
penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih
cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan
hampir semua negara tetangganya.
Satu
hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan
Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai
satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan
perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan
ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah
merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan
masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan
persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan
beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama
dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat
jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang
tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar
Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu
dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan
Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan
peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam
menangani masalah internasional.
Melihat
pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti
historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama
dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous
presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam
(ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi
perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga
poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta
instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga
terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar
lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi
lebih baik.
Di
samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan
beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang
dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan
negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka
kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan
dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama,
Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara
tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL
yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya,
baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya
negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum
internasional.
Kesimpulan
Penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan
di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini
adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis
perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu
dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat
Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara
di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai
pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan
atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua
negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua
pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan
merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan
Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau
Sipadan dan Ligitan.
No comments:
Post a Comment